Rabu, 27 Desember 2017

Karakteristik anak Learning Dissability


I.                   Karakteristik anak Learning Dissability secara fisik
Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik atau mental. Anak yang mengalami LD atau yang biasa disebut dengan Learning Dissability memiliki ciri fisik yang hampir sama dengan anak-anak pada umumnya. Jadi kita tidak dapat melihat dari segi karakteristik fisik seorang anak mengalami Learning Dissability. Tetapi dapat dilihat dari karakteristik yang lainnya.
II.                Karakteristik anak Learning Dissability secara psikologis
Ditemukan bahwa karakteristik psikologis anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata cukup bervariasi. Namun, ditemukan beberapa kecenderungan menarik, yaitu:
a.       Memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor tes kemampuan verbal dan performennya.
b.      Memiliki daya tangkap yang bagus, tetapi cenderung hiperaktif dan kurang mampu menyeuaikan diri.
c.       Memiliki daya imaginatif yang tinggi, tetapi cenderung emosional.
d.      Mampu mengambil keputusan dengan cepat, tetapi cenderung kurang disertai pertimbangan yang matang, terburu-buru, semaunya.
e.       Lebih cepat dalam belajar dan mengerjakan suatu persoalan, tetapi cenderung malas dan memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi.
f.       Lebih percaya diri, tetapi cenderung meremehkan dan menolak tugas-tugas yang diberikan dengan berbagai alasan.

III.             Karakteristik Learning Dissability secara akademik
Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan, yakni :
a.       Kesulitan Membaca (Disleksia)
Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa.Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak.
Myklebust & Johnson, menyebutkan ciri anak disleksia:
1.      Mengalami kekurangan dalam memori visual dan auditoris, baik memori jangka pendek (short time memory) dan jangka panjang (long time memory);
2.      Memiliki masalah dalam mengingat data, seperti mengingat hari-hari dalam seminggu;
3.      Memiliki masalah dalam mengenal arah kiri dan kanan;
4.      Memiliki kekurangan dalam memahami waktu;
5.      Jika diminta menggambar sering tidak lengkap;
6.      Miskin dalam mengeja;
7.      Sulit dalam menginterpretasikan globe, peta atau grafik;
8.      Kekurangan dalam koordinasi dan keseimbangan;
9.      Kesulitan dalam belajar berhitung; dan
10.  Kesulitan dalam belajar bahasa asing.
Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8% anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, dimana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca; membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan-yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak.
b.      Kesulitan Menulis (Disgrafia)
Menulis juga memerlukan koordinasi berbagai bagian dan fungsi otak. Bagian-bagian otak yang mengatur perbendaharaan kata, tata bahasa, gerakan tangan, dan ingatan harus berada dalam kondisi serta koordinasi yang baik. Permasalahan dalam hal ini, dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan menulis siswa. Jenis kesulitan ini ditandai dengan anak kerepotan menulis dengan tangan, tulisan sangat jelek, terbalik-balik, dan sering menghilangkan atau malah menambah huruf.
Aktivitas menulis, sebenarnya lebih banyak digerakkan oleh kerja otak kiri (left himespher), begitu juga pengenalan huruf, kata, linier dan angka, yang menghasilkan produk berpikir rasional. Bila pemungsian otak kiri dilakukan dengan baik (dengan banyak berlatih, atau senam otak), dan tidak ada tanda-tanda patologis, hampir dapat dipastikan bahwa kesulitan menulis tidak akan terjadi pada anak.
c.       Kesulitan Berhitung (Diskalkulia)
Dalam hal ini, anak sulit dalam memahami simbol matematika dan dialog operasional hitung.Misalnya, tanda tambah (+), dilihat sebagai tanda kali (×). Atau ketika ditanya berapa hasil lima dengan lima, meskipun mereka menjawab dengan benar,yakni 25 tetapi dalam menuliskannya salah. Bukan angka 25 yang ditulis, tetapi 52; begitu seterusnya.
Berhitung melibatkan pengenalan angka-angka, pemahaman berbagai simbol matematis, mengingat berbagai fakta seperti tabel perkalian, dan pemahaman konsep-konsep abstrak seperti nilai tempat dan pecahan.Hal seperti ini mungkin terasa sulit bagi anak-anak penderita diskalkulia.Masalah dengan angka-angka atau konsep dasar sepertinya datang sejak awal.Sedangkan, masalah yang berhubungan dengan matematika yang baru terjadi pada kelas-kelas terakhir lebih sering berkaitan dengan logika.

Sumber :
Depdikbud. Buku 2 Mengidentifikasi Siswa Berkesulitan Belajar. Jakarta. Pusbang
Kurrandik. 1997.
Depdikbud. Buku 1 Mengenal Siswa Berkesulitan Belajar. Jakarta. Pusbang Kurrandik.
1997 Mulyono Abdurrahman. (1996).
Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti PPPG.
Somanntri, T. Sutjihati. (1996). Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Dikti
PTA.
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional,
Model Kurikulum. Bagi Peserta Didik Yang Mengalami Kesulitan Belajar. Jakarta: 2007.