I.
Karakteristik anak Learning Dissability secara fisik
Anak
berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik atau
mental. Anak yang mengalami LD atau yang biasa disebut dengan Learning Dissability memiliki ciri fisik
yang hampir sama dengan anak-anak pada umumnya. Jadi kita tidak dapat melihat
dari segi karakteristik fisik seorang anak mengalami Learning Dissability. Tetapi dapat dilihat dari karakteristik yang
lainnya.
II.
Karakteristik anak Learning Dissability secara psikologis
Ditemukan bahwa karakteristik psikologis anak LD yang memiliki
inteligensi di atas rata-rata cukup bervariasi. Namun, ditemukan beberapa
kecenderungan menarik, yaitu:
a.
Memiliki kesenjangan yang cukup
signifikan antara skor tes kemampuan verbal dan performennya.
b.
Memiliki daya tangkap yang
bagus, tetapi cenderung hiperaktif dan kurang mampu menyeuaikan diri.
c.
Memiliki daya imaginatif yang
tinggi, tetapi cenderung emosional.
d.
Mampu mengambil keputusan dengan
cepat, tetapi cenderung kurang disertai pertimbangan yang matang, terburu-buru,
semaunya.
e.
Lebih cepat dalam belajar dan
mengerjakan suatu persoalan, tetapi cenderung malas dan memiliki toleransi yang
rendah terhadap frustrasi.
f.
Lebih percaya diri, tetapi
cenderung meremehkan dan menolak tugas-tugas yang diberikan dengan berbagai
alasan.
III.
Karakteristik Learning
Dissability secara akademik
Kesulitan
belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi
akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan, yakni :
a. Kesulitan Membaca (Disleksia)
Bryan & Bryan (dalam
Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan
dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan
komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang
berkenaan dengan waktu, arah dan masa.Sedangkan, menurut Lerner seperti di
kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat
bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak.
Myklebust
& Johnson, menyebutkan ciri anak disleksia:
1.
Mengalami kekurangan dalam memori visual dan
auditoris, baik memori jangka pendek (short time memory) dan jangka panjang
(long time memory);
2.
Memiliki masalah dalam mengingat data, seperti
mengingat hari-hari dalam seminggu;
3.
Memiliki masalah dalam mengenal arah kiri dan
kanan;
4.
Memiliki kekurangan dalam memahami waktu;
5.
Jika diminta menggambar sering tidak lengkap;
6.
Miskin dalam mengeja;
7.
Sulit dalam menginterpretasikan globe, peta
atau grafik;
8.
Kekurangan dalam koordinasi dan keseimbangan;
9.
Kesulitan dalam belajar berhitung; dan
10. Kesulitan
dalam belajar bahasa asing.
Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8%
anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, dimana ketika anak atau siswa tidak lancar
atau ragu-ragu dalam membaca; membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja,
kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap,
pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema
paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan-yang terkait dengan
bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak.
b. Kesulitan
Menulis (Disgrafia)
Menulis
juga memerlukan koordinasi berbagai bagian dan fungsi otak. Bagian-bagian otak yang
mengatur perbendaharaan kata, tata bahasa, gerakan tangan, dan ingatan harus
berada dalam kondisi serta koordinasi yang baik. Permasalahan dalam hal ini,
dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan menulis siswa. Jenis kesulitan ini
ditandai dengan anak
kerepotan menulis dengan tangan, tulisan sangat jelek, terbalik-balik, dan
sering menghilangkan atau malah menambah huruf.
Aktivitas
menulis, sebenarnya lebih banyak digerakkan oleh kerja otak kiri (left himespher), begitu juga pengenalan
huruf, kata, linier dan angka, yang menghasilkan produk berpikir rasional. Bila
pemungsian otak kiri dilakukan dengan baik (dengan banyak berlatih, atau senam
otak), dan tidak ada tanda-tanda patologis, hampir dapat dipastikan bahwa
kesulitan menulis tidak akan terjadi pada anak.
c.
Kesulitan Berhitung (Diskalkulia)
Dalam
hal ini, anak sulit dalam memahami simbol matematika dan dialog operasional
hitung.Misalnya, tanda tambah (+), dilihat sebagai tanda kali (×). Atau ketika
ditanya berapa hasil lima dengan lima, meskipun
mereka menjawab dengan benar,yakni 25 tetapi dalam menuliskannya salah. Bukan
angka 25 yang ditulis, tetapi 52; begitu seterusnya.
Berhitung
melibatkan pengenalan angka-angka, pemahaman berbagai simbol matematis,
mengingat berbagai fakta seperti tabel perkalian, dan pemahaman konsep-konsep
abstrak seperti nilai tempat dan pecahan.Hal seperti ini mungkin terasa sulit
bagi anak-anak penderita diskalkulia.Masalah dengan angka-angka atau konsep
dasar sepertinya datang sejak awal.Sedangkan, masalah yang berhubungan dengan
matematika yang baru terjadi pada kelas-kelas terakhir lebih sering berkaitan
dengan logika.
Sumber :
Depdikbud.
Buku 2 Mengidentifikasi Siswa Berkesulitan Belajar. Jakarta. Pusbang
Kurrandik. 1997.
Depdikbud.
Buku 1 Mengenal Siswa Berkesulitan Belajar. Jakarta. Pusbang Kurrandik.
1997 Mulyono Abdurrahman. (1996).
Pendidikan
bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti PPPG.
Somanntri, T. Sutjihati. (1996).
Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Dikti
PTA.
Pusat
Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional,
Model
Kurikulum. Bagi Peserta Didik
Yang Mengalami Kesulitan Belajar. Jakarta: 2007.